‘Le,
telephisyi ini harus bapak jual, bapak ndak
kuat lagi kalau harus membayar tagihan tagihan listrik itu” Pak Husein dengan
nada sedikit mengiba merayu pada anaknya si Joni yang dari tadi terus menangisi
televisi yang akan dijual. Joni sangat sayang kepada televisi tersebut walaupun
bukan bapaknya sendiri yang membelinya, mana mampu keluarga Pak Husein beli
televisi, makan saja kadang masih harus berhutang. Televisi tersebut diperoleh
dari program televisi “oprasi rumah” yang memperbaiki rumah rumah reot dengan
cepat dan memberikan juga prabotan prabotan elektronik untuk si pemilik rumah
tersebut. Sebenarnya bukan Cuma televisi tersebut yang diberikan pada Pak
Husein, tapi masih ada kulkas, mesin cuci dan beberapa yang lain, tapi Pak Husein
sudah menjualnya karena tidak mampu menangung biaya listriknya, sebetulnya
istri Pak Husein pun sedikit cemberut saat Pak Husein menjual prabot prabot
tersbut, karena nanti sudah tak bisa lagi pamer prabot prabot tersebut pada
tetangganya. Tapi apa mau dikata, barang itu harus dijual, isrtri Pak Husein
juga sudah tak sanggup terlilit hutang, mending uangnya untuk beli gincu.
Sekarang
hanya televisi itu yang tertinggal, barangnya memang tak sebesar mesin cuci
atau kulkas tapi diam diam Joni dan istri Pak Husein sudah mengkultuskan
televisi tersebut. Televisi tersebut tidak boleh digeser sedikitpun, apalagi
mau dijual, bisa ngamuk ngamuk nanti 2 orang jemaah televisiiyah dirumah
tersebut. Yang menjual nanti pasti dicurigai : dungu, tidak modern , tidak
ngeti perkembangan zaman.
Televisi
ini berbeda dengan prabot lain, mempunyai daya pikat yang lain, sampai sampai
Bu Husein tidak bisa ikhlas seperti saat Pak Husein menjual prabot prabot yang
lain, sikap Bu Husein sama seperti Joni, ngambek. Karena jika televisi itu
dijual, otomatis Bu Husein tidak bisa lagi menonton acara gossip dan menceritakan
dengan fasih kepada tetangga tetangganya tentang cerita cerita terbaru para
selebritis. Maklum di perkampungan kumuh dekat TPA yang ditinggali keluarga Pak
Husein televisi merupakan hal istimewa. “Nanti ibu akan bekerja mencari
rongsokan lebih giat, Pak, asal telephisyi itu jangan dijual, Ibu nanti ndak
bisa nonton Gosip sama sinetron” “ tapi kan, Bu, uangnya bisa buat yang lain, atau
ditabung” “ Ya nanti tetep nabung, Pak, nanti kita makannya ngirit, ndak usah
pakek telor, sayur saja sudah cukup, terus Joni ndak usah diberi uang jajan,
iya gak, Jon ? “. Joni mengangguk senang, mendengar ibunya pun senada dengan
Joni, raut muka Joni sedikit meringis dan tangisnya mulai mereda seperti
seorang pengutang lolos dari tukang kredit.
Mendengar itu Pak Husein seperti disambar
petir, tiba tiba kepalanya pusing ndak karuan mikir kelakuan anak dan istrinya
yang mati matian membela TV itu melebihi nasip perutnya sendiri. Istrinya yang
dikira akan bersikap arif, ternyata juga setali tiga uang dengan Joni,
nampaknya istrinya sudah terperangkap oleh kemajuan. Padahal Pak Husein anak
yang paling tua, dia harus menanggung 3 adiknya yang ada dikampung tinggal
bersama ibunya. Jika begitu keadaanya terus, lalu bagaimana adik adik pak
Husein , juga ibunya yang sekrang mulai sakit sakitan. Sekarang rasanya pria
yang berumur 30 tahun tersebut sendirian, rasanya mau pergi saja, kabur, hidup
sendiri pun tak apa asal ndak sepusing ini.
Dengan
keadaan rumah yang seperti itu Pak Husein tidak tahan, daripada dia ngamuk
ngamuk dirumah, dia memilih pergi cari warung untuk ngopi dan merokok. Diwarung
kopi John yang berada tak jauh dari rumahnya, Pak Husein menyabarkan hatinya
dan menjernihkan pikirannya ditemani sebatang rokok. Mukanya kusut, pikiranya
blingsatan kemana mana. “ kenapa, Pak ? kok kayak pusing begitu” Tanya si John
basa basi “oh.. ndak papa kok” , Pak Husein menutupi kegelisahannya, karena
menurutnya masalah dapur ndak enak
kalau dibawa keluar, malah malah jadi bahan omongan nanti. Pak Husein melamun, membayangkan andai saja
dulu dia tidak mensetujui stasiun TV tersebut, untuk rumahnya diperbaiki yang
dibenakknya itu adalah sebuah pertanda hidupnya akan lebih baik dan makmur. Andai
saja itu semua tidak terjadi, anak dan istrinya tidak akan mengenal TV dan
tidak kecanduan seperti ini, dan masih banyak andai saja yang lain yang
berkecamuk dalam pikiran pikiran Pak Husein yang penuh penyesalan tersebut. “
John kamu jangan mudah tertipu ya sama yang dikatakan kemajuan, itu menipu,
jangan mudah percaya, kemajuan itu candu, kalau kamu tidak mampu mengendalikan,
kamu yang akan jadi robot dari perkembangan itu” , John bingung tiba tiba Pak
Husein nyletuk kayak gitu, seperti kangslupan
seorang budayawan. Tapi John menggapnya angin lalu, dpikirnya Pak Husein hampir
gila digilas kemiskinan. Pak Husein tanpa berucap lagi hanya meninggalkan uang
tigaribu diatas meja.
Pak
Husein kembali kerumahnya dengan langkah gontai, masuk kedalam ruang tamu dan
juga sebagai ruang keluarga itu, dia duduk melihat anak dan istrinya sudah
kembali seperti biasa, berebut remot TV, yang satu kepengen nonton joget dan
yang satu kepingin nonton acara gosip. Minggu pagi yang mendung itu mendukung
suasana Pak Husein yang juga kelabu. Dia duduk lunglai pada kursi tamu
sekaligus kursi ruang keluarga tersebut. pikirannya ndak karuan blingsatan kemana mana. Dia sudah tidak kenal istrinya
sendiri, itu yang dia tau. Dan ia mulai menyimpan dendam dengan istrinya
sendiri.