Antara Aku dan Ibu

Jumat, 18 September 2015

Antara Aku dan Ibu

Sebuah hubungan yang belum pernah aku benar benar memahaminya. Hingga akhirnya sampai pada suatu titik sebuah perenungan, aku menemukan suatu penemuan hubungan yang agaknya lebih mesra dari pacaran, lebih indah dari sebuah cerita didalam dongeng, lebih mengetarkan dari novel novel yang pernah aku baca sebelum sebelumnya.

Matanya saat marah membuat jengkel dan membikin ingin tertawa terpingkal pingkal. Bentuk perhatian yang membikin marah setiap harinya. Dan posisi selalu salah saat apa saja yang aku lakukan tak sesuai dengan keinginannya. Seperti pada kemarahannya saat aku bohong, pun juga saat aku jujur.
Pernah suatu ketika aku berbohong kepada Beliau karena menghindari kemarahan Beliau, karena memang hal yang aku lalukan tidak diperkenankan oleh beliau, maka itulah aku berbohong, tapi Beliau mengetahuinya dan marah besar sampai aku dan beliaupun sama sama menangis, dan aku berjanji pada Beliau untuk tidak berbohong. Akhirnya aku selalu jujur pada Beliau, tapi pada saat itu juga Beliau tetap saja marah, karena memang lagi lagi hal yang aku lakukan tak seperti yang beliau kehendaki. Sampai aku berpikir, apakah aku hanya robot dari Ibu. Tapi ternyata tidak, ternyata aku yang kelewat spaneng, kurang guyon. Aku selalu mengganggap kemarahan Beliau sebagi sebuah kebencian, tapi ketika sudut pandangnya diubah dari sudut yang berbeda, bahwa kemarahan Beliau adalah sebuah cinta, maka semua tiba tiba berubah seketika. Saat mata beliau mlorok marah marah karena aku berbuat hal yang Beliau tidak inginkan, dan aku jujur mengatakan ketika itu pula mlorok Beliau terlihat sexy, kadang juga lucu, sampai aku terpingkal pingkal melihatnya. Saat itu pula kami selalu membicarakan setiap peristiwa dengan baik baik, membicarakan dengan kesadaraan dan kesedian untuk saling menerima. Walau memang aku akan selalu kena marah terus terusan. Karena soalnya cara pandang hidup antara aku dan Ibu selalu tak sama. Tapi setelah semua kemarahan Ibu aku jadikan Cinta dan bukan Kebencian, semaua lebih baik, lebih tidak spaneng, lebih asyik. Ternyata Beliaupun butuh belajar menjadi seorang Ibu, dan aku pun belajar menjadi seorang anak, dari situlah karena aku tau kami sedang sama sama belajar, agaknya memang aku juga harus berani bersabar untuk Beliau . Maka kami sekarang lebih mencintai dalam diam, dalam sebuah bait doa yang hanya Tuhan saja yang tau. Dalam sebuah tidur yang kadang diam diam kupandangi garis wajahnya yang lelah, yang renta namun tak pernah terlihat payah.
Karena memang Cinta lah yang mampu mengubah sebuah sudut pandang. Hal yang sebelumnya menyebalkan, bimsalabim menjadi sebuah kesedian untuk saling menerima dan berbagi dengan kemarahan yang dibumbui cinta dan pun juga cemburu.

1 komentar

 

Most Reading