TV untuk JONI

Selasa, 30 September 2014

‘Le, telephisyi ini harus bapak jual, bapak ndak kuat lagi kalau harus membayar tagihan tagihan listrik itu” Pak Husein dengan nada sedikit mengiba merayu pada anaknya si Joni yang dari tadi terus menangisi televisi yang akan dijual. Joni sangat sayang kepada televisi tersebut walaupun bukan bapaknya sendiri yang membelinya, mana mampu keluarga Pak Husein beli televisi, makan saja kadang masih harus berhutang. Televisi tersebut diperoleh dari program televisi “oprasi rumah” yang memperbaiki rumah rumah reot dengan cepat dan memberikan juga prabotan prabotan elektronik untuk si pemilik rumah tersebut. Sebenarnya bukan Cuma televisi tersebut yang diberikan pada Pak Husein, tapi masih ada kulkas, mesin cuci dan beberapa yang lain, tapi Pak Husein sudah menjualnya karena tidak mampu menangung biaya listriknya, sebetulnya istri Pak Husein pun sedikit cemberut saat Pak Husein menjual prabot prabot tersbut, karena nanti sudah tak bisa lagi pamer prabot prabot tersebut pada tetangganya. Tapi apa mau dikata, barang itu harus dijual, isrtri Pak Husein juga sudah tak sanggup terlilit hutang, mending uangnya untuk beli gincu.
Sekarang hanya televisi itu yang tertinggal, barangnya memang tak sebesar mesin cuci atau kulkas tapi diam diam Joni dan istri Pak Husein sudah mengkultuskan televisi tersebut. Televisi tersebut tidak boleh digeser sedikitpun, apalagi mau dijual, bisa ngamuk ngamuk nanti 2 orang jemaah televisiiyah dirumah tersebut. Yang menjual nanti pasti dicurigai : dungu, tidak modern , tidak ngeti perkembangan zaman.
Televisi ini berbeda dengan prabot lain, mempunyai daya pikat yang lain, sampai sampai Bu Husein tidak bisa ikhlas seperti saat Pak Husein menjual prabot prabot yang lain, sikap Bu Husein sama seperti Joni, ngambek. Karena jika televisi itu dijual, otomatis Bu Husein tidak bisa lagi menonton acara gossip dan menceritakan dengan fasih kepada tetangga tetangganya tentang cerita cerita terbaru para selebritis. Maklum di perkampungan kumuh dekat TPA yang ditinggali keluarga Pak Husein televisi merupakan hal istimewa. “Nanti ibu akan bekerja mencari rongsokan lebih giat, Pak, asal telephisyi itu jangan dijual, Ibu nanti ndak bisa nonton Gosip sama sinetron” “ tapi kan, Bu, uangnya bisa buat yang lain, atau ditabung” “ Ya nanti tetep nabung, Pak, nanti kita makannya ngirit, ndak usah pakek telor, sayur saja sudah cukup, terus Joni ndak usah diberi uang jajan, iya gak, Jon ? “. Joni mengangguk senang, mendengar ibunya pun senada dengan Joni, raut muka Joni sedikit meringis dan tangisnya mulai mereda seperti seorang pengutang lolos dari tukang kredit.
 Mendengar itu Pak Husein seperti disambar petir, tiba tiba  kepalanya pusing ndak karuan mikir kelakuan anak dan istrinya yang mati matian membela TV itu melebihi nasip perutnya sendiri. Istrinya yang dikira akan bersikap arif, ternyata juga setali tiga uang dengan Joni, nampaknya istrinya sudah terperangkap oleh kemajuan. Padahal Pak Husein anak yang paling tua, dia harus menanggung 3 adiknya yang ada dikampung tinggal bersama ibunya. Jika begitu keadaanya terus, lalu bagaimana adik adik pak Husein , juga ibunya yang sekrang mulai sakit sakitan. Sekarang rasanya pria yang berumur 30 tahun tersebut sendirian, rasanya mau pergi saja, kabur, hidup sendiri pun tak apa asal ndak sepusing ini.
Dengan keadaan rumah yang seperti itu Pak Husein tidak tahan, daripada dia ngamuk ngamuk dirumah, dia memilih pergi cari warung untuk ngopi dan merokok. Diwarung kopi John yang berada tak jauh dari rumahnya, Pak Husein menyabarkan hatinya dan menjernihkan pikirannya ditemani sebatang rokok. Mukanya kusut, pikiranya blingsatan kemana mana. “ kenapa, Pak ? kok kayak pusing begitu” Tanya si John basa basi “oh.. ndak papa kok” , Pak Husein menutupi kegelisahannya, karena menurutnya masalah dapur ndak enak kalau dibawa keluar, malah malah jadi bahan omongan nanti.  Pak Husein melamun, membayangkan andai saja dulu dia tidak mensetujui stasiun TV tersebut, untuk rumahnya diperbaiki yang dibenakknya itu adalah sebuah pertanda hidupnya akan lebih baik dan makmur. Andai saja itu semua tidak terjadi, anak dan istrinya tidak akan mengenal TV dan tidak kecanduan seperti ini, dan masih banyak andai saja yang lain yang berkecamuk dalam pikiran pikiran Pak Husein yang penuh penyesalan tersebut. “ John kamu jangan mudah tertipu ya sama yang dikatakan kemajuan, itu menipu, jangan mudah percaya, kemajuan itu candu, kalau kamu tidak mampu mengendalikan, kamu yang akan jadi robot dari perkembangan itu” , John bingung tiba tiba Pak Husein nyletuk kayak gitu, seperti kangslupan seorang budayawan. Tapi John menggapnya angin lalu, dpikirnya Pak Husein hampir gila digilas kemiskinan. Pak Husein tanpa berucap lagi hanya meninggalkan uang tigaribu diatas meja.

Pak Husein kembali kerumahnya dengan langkah gontai, masuk kedalam ruang tamu dan juga sebagai ruang keluarga itu, dia duduk melihat anak dan istrinya sudah kembali seperti biasa, berebut remot TV, yang satu kepengen nonton joget dan yang satu kepingin nonton acara gosip. Minggu pagi yang mendung itu mendukung suasana Pak Husein yang juga kelabu. Dia duduk lunglai pada kursi tamu sekaligus kursi ruang keluarga tersebut. pikirannya ndak karuan blingsatan kemana mana. Dia sudah tidak kenal istrinya sendiri, itu yang dia tau. Dan ia mulai menyimpan dendam dengan istrinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Most Reading